Apa itu Sick Building Syndrome? Penyebab, Gejala, Faktor Risiko dan Pencegahannya
Daftar Isi
Apa itu Sick Building Syndrome?
Sick Building Syndrome atau sering disingkat SBS bukanlah penyakit paru semata, namun gejalanya sering kali menimbulkan gangguan respirasi di tempat kerja.
Sick Building Syndrome adalah situasi di mana penghuni gedung mengalami gejala akut dan efek ketidaknyamanan yang berkaitan dengan lamanya waktu yang dihabiskan di dalam gedung, namun tidak ada penyebab khusus yang dapat diidentifikasi.
Penyebab Sick Building Syndrome
Menurut EPA (1991) penyebab yang berkontribusi terhadap sick building syndrome, yaitu:
1. Ventilasi yang tidak memadai
Ventilasi dan sistem pendingin udara (sistem HVAC) dapa meningkatkan polusi udara dalam ruangan. Permasalahan yang sering terjadi yaitu sistem HVAC yang buruk, seperti buruknya ventilasi gedung dan buruknya kinerja air conditioner (AC) akibat jarang dibersihkan. Selain itu mikroorganisme seperti jamur dan bermacam tipe bakteri dapat mengkontaminasi sistem pendingin atau pemanas udara sentral dan dapat menyebabkan pneumonitis hipersensitif dan humidifier fever.
2. Kontaminan kimia dari dalam ruangan
Kontaminan yang paling umum dari udara dalam ruangan termasuk senyawa organik yang mudah menguap (VOC). Contohnya adalah papan plywood dan gabus yang dipasang sebagai penyekat dinding menyumbang formaldehyde dan pelarut organik. Wewangian sintetis dalam produk perawatan pribadi atau dalam produk pembersih dan perawatan juga berkontribusi pada kontaminasi. Mesin fotokopi yang dapat menyumbang polutan ammonia dan juga produk sampingan hasil pembakaran dari kompor, perapian dan pemanas ruangan yang tidak terventilasi.
3. Kontaminan kimia dari luar ruangan
Kontaminan dari luar seperti polutan dari knalpot kendaraan bermotor, pipa ventilasi, pipa gas buang dari kamar mandi dan dapur dapat masuk ke dalam ruangan melalui ventilasi, jendela, dan celah bukaan. Hasil samping pembakaran dapat memasuki gedung dari garasi terdekat. Radon, formaldehida, asbestos, debu dan cat timbal dapat masuk melalui lubang masuk ventilasi udara yang tidak baik.
4. Kontaminan biologi
Kontaminan ini dapat berkembang biak di genangan air yang telah terakumulasi dalam pipa pendingin, pipa saluran, atau genangan air di lantai langit-langit, dan dalam karpet.
Serangga dan kotoran burung juga bisa menjadi sumber kontaminasi biologis. Di kantor dengan kepadatan hunian tinggi, miikroorganisme di udara dapat menyebar dengan cepat dari satu pekerja ke pekerja lainnya.
Sistem pendingin udara dapat meresirkulasi patogen dan menyebarkannya ke seluruh gedung misalnya virus flu, penyakit Legionnaire karena organisme legionella.
5. Lingkungan
Buruknya desain dan konstruksi bangunan dengan ruangan yang sempit dapat berkontribusi terhadap ventilasi yang tidak memadai. Selain itu pencehayaan yang buruk, kelembaban yang tinggi, serta tidak adanya sinar matahari juga dapat berkontribusi terhadap sick building syndrome.
Keluhan dan Gejala Sick Building Syndrome
Adapun tanda dan gejala sick building syndrome, yaitu:
- sakit kepala,
- pusing,
- mual,
- mata, hidung atau tenggorokan iritasi,
- batuk kering,
- kulit kering atau gatal,
- kesulitan konsentrasi,
- kelelahan,
- kepekaan terhadap bau,
- suara serak,
- alergi,
- dingin,
- gejala seperti flu,
- peningkatan kejadian serangan asma, dan
- perubahan kepribadian.
Meskipun penyebab gejala tidak diketahui, namun dapat mengurangi efisiensi kerja dan meningkatkan ketidakhadiran, umumnya terkait dengan keluhan respirasi. Sebagian besar pekerja melaporkan kembali sehat setelah meninggalkan gedung.
Baca juga: Pekembangan Penyakit Akibat Kerja dan Teori-Teori di Baliknya
Gejala SBS dapat memburuk apabila semakin lama berada di dalam ruangan atau gedung tersebut, dan dapat membaik setelah keluar dari ruangan atau gedung tersebut.
Faktor Risiko Sick Building Syndrome
Kukec dan Dovjak (2014) mengungkapkan bahwa faktor risiko terjadinya sick building syndrom diklasifikasikan menjadi beberapa faktor, yaitu faktor fisik, kimia, biologi, dan psikososial.
Berikut ini penjelasannya:
a. Faktor Fisik
Parameter lingkungan yang dapat mengganggu kenyamanan akibat tidak sesuai (di bawah atau di atas) nilai ambang batas seperti suhu, kelembaban, pencahayaan, bising, dan getaran. Parameter yang berhubungan dengan ventilasi gedung.
Desain tempat kerja yang tidak ergonomis dapat mengganggu kenyamanan. Serta desain dan fasilitas gedung yang dapat menghasilkan sumber kontaminan seperti dinding, meja, dan furnitur lainnya.
b. Faktor Kimia
Banyak produk konstruksi yang digunakan untuk waterproofing, isolasi, fireproofing, atap, plester, membangun dan merawat lantai, serta lapisan permukaan yang mengandung racun bahan kimia.
Produk rumah tangga seperti formaldehid yang terdapat pada cairan pencuci piring, pembersih karpet, alat-alat kosmetik dan cat. Formaldehid dapat menjadi faktor risiko terjadinya sick building syndrome karena dapat mengiritasi mata dan saluran pernapasan bawah. Mungkin juga bertanggung jawab untuk gangguan alergi termasuk asma.
Debu konstruksi, asap rokok, polutan dari kendaraan, dan VOC juga dapat memicu SBS.
c. Faktor Biologi
Terdapat banyak sumber biologi dari indoor maupun outdoor, yaitu manusia, hewan, dan tumbuhan. Polusi dapat melibatkan ratusan spesies bakteri dan jamur itu tumbuh di dalam ruangan ketika tersedia kelembaban yang cukup.
Humidifiers di sistem ventilasi dapat menjadi tempat bagi mikroba untuk berkembang, dan juga memberikan alasan untuk melembabkan biosida. Contoh mikroba tersebut adalah bakteri legionella yang sering berkembang di Air Conditioner. Selain itu jamur dari sisa-sisa makanan yang sudah lama, virus dari pekerja lain yang menyebar, dan adanya genangan air yang menjadi sumber bakteri dan virus.
d. Faktor Psikososial
Stres akibat pekerjaan seperti beban kerja yang berat, konflik dalam manajemen, dan lingkungan kerja yang tidak mendukung dapat memicu stres pada pekerja. Selain itu dalam penelitian Bullinger et al melalui Kukec & Dovjak (2014) variabel psikososial pada wanita lebih tinggi dibandingkan laki-laki.
e. Faktor Personal
Stamina tubuh atau hazard somatik pekerja yang tidak baik dapat memicu pekerja tersebut mengalami sick building syndrome.
Siapa yang Berisiko Terkena Sick Building Syndrome?
Kategori penderita terbesar adalah pekerja kantor di bangunan modern dengan ventilasi mekanis atau sistem pendingin udara tanpa membuka jendela. Ada risiko yang lebih tinggi bagi pekerja yang rutin menggunakan peralatan layar display. Selain itu, ternyata wanita lebih berisiko dibandingkan dengan pria teman kerjanya. Ini dikarenakan pekerja perempuan lebih banyak dipekerjakan di perkantoran ini.
Pekerja dengan sick building syndrome juga lebih sensitf terhadap stimuli stres mental dibandingkan dengan pekerja tanpa sick building syndrome (HSE, 1995).
Prosedur Deteksi Dini dan Pemeriksaan Penunjang Sick Building Syndrome
Deteksi dini dapat dengan kuesioner technical survey
Survei dilakukan untuk menentukan tingkat kejadian atau prevalensi atau kejadian gejala sick building syndrome, mengidentifikasi faktor risiko yang jelas, dan kemungkinan solusi yang dapat diterapkan sebelum situasi memburuk.
Survei juga harus dilakukan di kemudian hari untuk memastikan apakah gejalanya menetap. Pertanyaan dapat berupa riwayat pekerjaan, seperti:
- sudah berapa lama bekerja,
- riwayat pekerjaan sebelumnya,
- alat kerja, bahan kerja, proses kerja, dan barang yang diproduksi/dihasilkan,
- waktu bekerja sehari,
- kemungkinan pajanan yang dialami, dan
- alat pelindung diri apa saja yang dipakai.
Selain itu, dilakukan juga pemeriksaan kebersihan gedung dengan memastikan bangunan memiliki tingkat kebersihan yang baik, bahan-bahan pembersih digunakan dan disimpan dengan benar, dll.
Pemeriksaan penunjang
Sedangakan pemeriksaan penunjang dapat dilakukan beberapa hal berikut:
- Pengukuran suhu, ventilasi, dan faktor pendukung lain
Pemeriksaan terhadap lingkungan dapat dilakukan untuk menunjang apakah pekerja tersebut mengalami SBS. Pengukuran ini menggunakan Wet Bulb Globe Temperature (WBGT) yang dapat memperhitungkan suhu dan kelembaban. Anda dapat merujuk Permenaker No 5 tahun 2018 tentang K3 Lingkungan Kerja maupun Permenkes Nomor 70 Tahun 2016 tentang standar dan persyaratan kesehatan lingkungan kerja industri. - Spirometri
Program Promosi dan Pencegahan Sick Building Syndrome
Berikut ini merupakan cara atau upaya pencegahan terjadinya sick building syndrome:
1. Menghilangkan atau modifikasi sumber polutan
Menghindari kain pelapis sintetis, mengeluarkan kontaminan ke luar ruangan, menyimpan cat, pelarut, pestisida dan perekat dalam wadah tertutup di area yang berventilasi baik dan hanya menggunakan sumber pencemar ini jika benar-benar dibutuhkan atau saat kosong tanpa penghuni. Dinding, lantai dan langit-langit tidak boleh rentan terhadap jamur. Bahan bangunan alami dan tidak beracun harus digunakan.
2. Meningkatkan laju ventilasi dan distribusi udara
Sistem Heating Ventilation and Air Conditioning (HVAC) harus dirancang untuk memenuhi standar ventilasi dalam kode bangunan lokal. Sistem HVAC harus dioperasikan dan dipelihara dengan baik untuk memastikan bahwa tingkat ventilasi yang diinginkan tercapai.
Sistem ini sangat dianjurkan untuk menghilangkan polutan yang terakumulasi di area tertentu seperti kamar kecil, ruang fotokopi dan fasilitas pencetakan.
3. Penggunaan filter udara
Filter udara efektif dalam menghilangkan beberapa polutan.
4. Menciptakan desain tempat kerja yang baik
Pencahayaan dan warna harus bercampur dengan baik dengan lingkungan sekitar dan tidak menyentak indera, interior harus dilakukan dengan menggunakan bahan alami tanpa kandungan beracun dan harus dirancang secara ekonomis.
Kelembaban dalam ruangan harus diatur secara alami agar tidak menjadi media bakteri dan jamur berkembang, polutan udara harus disaring dan dinetralkan, penggunaan pemanas alami (matahari), kadar air di gedung-gedung baru harus rendah, tindakan perlindungan terhadap kebisingan polusi dan radiasi infrasonik dan ultrasonik yang berbahaya harus dipastikan terkendali.
5. Edukasi dan komunikasi kepada pekerja
Pendidikan dan komunikasi adalah bagian penting dari setiap program manajemen kualitas udara sehingga dapat bekerja lebih efektif dan efisien untuk mencegah dan memecahkan masalah kesehatan.
6. Larangan merokok di tempat kerja
Melarang merokok di tempat kerja atau menyediakan tempat merokok di shelter tanpa dinding yang berjarak minimal 10 m dari gedung dan menciptakan zona tanpa rokok dengan bantuan regulasi.
Penutup
Kita telah belajar bersama terkait sick building syndrome, mulai dari pengertian, penyebab, gejala, faktor risiko, prosedur deteksi dini, hingga bagaimana cara pencegahan sick building syndrome itu sendiri!
Semoga bermanfaat
Referensi
Kurniawidjaja, L. M. & Ramadhan, D. H. (2019). Penyakit Akibat Kerja dan Surveilans. UI Publishing.
Thank you infonya mas. Ijin copy.
Hehe, thanks kak
Luar biasa ilmu nya… terimakasih bang
Semoga bermanfaat ya