Mengenal Ototoxicants, Zat Kimia yang Dapat Membahayakan Pendengaran!

Ototoxicants (Ototoksik) di Tempat Kerja

Kesehatan pendengaran adalah salah satu aspek penting dalam K3, terutama bagi pekerja yang terpapar kebisingan tinggi atau bahan kimia tertentu. Salah satu risiko yang kurang dikenal namun signifikan adalah paparan terhadap ototoksikan (ototoxicants) – zat yang dapat merusak telinga bagian dalam dan menyebabkan kehilangan pendengaran.

Pada kesempatan kali ini, penulis akan membahas apa itu ototoksikan, bahayanya, cara mengidentifikasinya, dan langkah penanganannya, serta hubungannya dengan kebisingan di tempat kerja.

Yuk disimak!

Apa itu Ototoxicants?

Berbicara tentang ototoxicants, sebenarnya Bapak kedokteran dunia, Ibnu Sina (Avincenna) merupakan orang pertama yang menjelaskan efek zat kimia terhadap fungsi telinga (pendengaran). Di mana 1000 tahun yang lalu, ia memperingatkan bahwa ketika uap merkuri digunakan untuk menghilangkan kutu rambut, inangnya dapat menjadi tuli akibat pengobatan tersebut.

Ototoksikan (ototoxicants) adalah zat kimia yang dapat menyebabkan kerusakan pada struktur telinga bagian dalam (inner ear), yang dikenal sebagai koklea, serta saraf yang mengirimkan sinyal pendengaran ke otak. 

Zat ini dapat ditemukan dalam berbagai bahan kimia yang umum digunakan di industri, seperti pelarut (solvents), logam berat, dan beberapa obat-obatan.

Paparan terhadap ototoksikan dapat menyebabkan berbagai masalah pendengaran, mulai dari tinnitus (denging di telinga) hingga kehilangan pendengaran permanen. Bahaya ini semakin meningkat jika paparan ototoksikan terjadi bersamaan dengan kebisingan yang tinggi di tempat kerja, karena keduanya dapat memberikan efek kumulatif yang lebih merusak pada telinga.

Baca juga:
Review Buku Teori dan Aplikasi Promosi Kesehatan di Tempat Kerja

Bagaimana Mekanisme Ototoxicants Merusak Sistem Pendengaran?

Ototoxicants dapat mengganggu sistem pendengaran kita melalui 3 rute pajanan, yaitu:

  1. Rute pajanan melalui oral, yang umumnya dinyatakan sebagai mg/kg berat badan, yang berarti mg toksikan per kg organisme hidup (mg/kg); 
  2. Rute pajanan melalui kulit, yang dinyatakan sebagai satuan yang sama seperti oral (mg/kg);
  3. Rute pajanan melalui inhalasi, yang umumnya dinyatakan sebagai mg/m3, yang berarti mg toksikan per meter kubik udara (mg/m3 atau ppm).

Ototoksikan diyakini dapat memengaruhi atau merusak fungsi pendengaran melalui beberapa mekanisme yang berbeda. Berikut adalah penjelasan mengenai mekanisme tersebut:

Anatomi Telinga
Anatomi Telinga by Hello Sehat
  • Ototoksikan dapat menyebabkan degenerasi sel rambut di koklea. Sel rambut ini sangat penting untuk transduksi suara (proses mengubah gelombang suara menjadi impuls saraf yang dapat diinterpretasikan oleh otak sebagai suara yang didengar), dan kerusakannya dapat mengakibatkan gangguan pendengaran sensorineural yang permanen.
  • Gangguan Struktur Membran. Zat-zat ototoxicants dapat mengganggu struktur membran di dalam telinga, yang berperan dalam menjaga fungsi normal koklea. Gangguan ini dapat mempengaruhi kemampuan koklea untuk merespons rangsangan suara dengan baik.
  • Perubahan pada Sel Rambut Vestibular. ototoxicants juga dapat menyebabkan perubahan pada sel rambut vestibular yang halus. Sel-sel ini berperan dalam keseimbangan dan orientasi, sehingga kerusakannya dapat menyebabkan masalah keseimbangan selain gangguan pendengaran.
  • Gangguan Pasokan Darah (Iskemia) dan Penurunan Tingkat Oksigen (Hipoksia). Ototoksikan dapat mengganggu pasokan darah ke koklea, yang dikenal sebagai iskemia. Iskemia ini dapat mengurangi aliran oksigen ke sel-sel di telinga, menyebabkan kerusakan lebih lanjut. Selain itu, kondisi hipoksia yang disebabkan oleh gangguan pasokan darah dapat mengakibatkan kerusakan sel-sel koklea. Sel-sel yang kekurangan oksigen tidak dapat berfungsi dengan baik, yang berkontribusi pada gangguan pendengaran.
  • Pengaruh pada Jalur Pusat Auditori. Ototoksikan dapat memengaruhi tidak hanya koklea tetapi juga jalur auditori sentral di sistem saraf. Hal ini dapat menyebabkan gangguan dalam pengolahan sinyal suara di otak, yang berakibat pada kesulitan dalam mendengar atau memahami suara.
  • Pengaruh pada Serabut Saraf Auditori, Optik, dan Vestibular. Ototoksikan juga dapat memengaruhi serabut saraf auditori, optik, dan vestibular baik di sistem saraf pusat (CNS) maupun perifer. Kerusakan pada serabut saraf ini dapat menyebabkan gangguan pendengaran, masalah penglihatan, dan gangguan keseimbangan.

Ototoxicants di Tempat Kerja

Lebih dari 100 zat yang ada di tempat kerja telah diidentifikasi berpotensi menimbulkan ototoksik. Beberapa diantaranya jika dikelompokkan:

1. Obat-obatan farmasi:

  1. Aminoglikosida (streptomisin, kanamisin, neomisin, gentamisin, tobramisin, amikasin, dan netilmisin, umumnya digunakan untuk mengobati infeksi bakteri gram negatif).
  2. Platinum-derivates (obat antikanker cisplatin dan carboplatin).
  3. Diuretik loop (asam etakrilat, furosemid, dan bumetanid, banyak digunakan sebagai bagian dari pengobatan tekanan darah tinggi dan pembengkakan akibat gagal jantung kongestif).
  4. Asam asetil salisilat (aspirin; >2,5 g/hari).
  5. Obat antituberkulosis (misalnya, Amikasin).

Zat-zat dari kelompok pertama (obat farmasi ototoksik) mungkin adalah yang paling terkenal. Meskipun berisiko menyebabkan gangguan pendengaran, zat-zat tersebut digunakan untuk mengobati kondisi kesehatan serius yang mungkin merupakan satu-satunya obatnya.

2. Solvents aromatic

Beberapa solvents aromatic yaitu styrene, toluene, p-xylene, ethylbenzene, chlorobenzene, trichloroethylene, n-hexane, n-heptane, carbon disulphide, solvent mixtures.

Di antara solvents Aromatic, penyebab utamanya biasanya styrene, toluene, p-xylene, dan trichloroethylene. Semua pelarut ini digunakan secara luas di banyak industri.

Paparan gabungan pelarut dan kebisingan meningkatkan risiko gangguan pendengaran akibat kerja secara sinergis, terutama jika kebisingan bersifat impulsif.

3. Asphyxiants gases

Gas-gas seperti karbon monoksida, hidrogen sianida dan garamnya, ini sebenarnya tidak berbahaya bagi pendengaran jika berdiri sendiri, tetapi bisa menjadi berbahaya bagi pendengaran jika dikombinasikan dengan tingkat kebisingan yang tinggi.

Satu-satunya pengecualian adalah karbon monoksida (CO) dari asap rokok, yang dapat menyebabkan gangguan pendengaran bahkan tanpa paparan kebisingan.

Baca juga:
Bahaya Karbon Monoksida (CO) si Silent Killer

4. Nitriles

Nitriles diantaranya 3-Butenenitrile, cis-2-pentenenitrile, acrylonitrile, cis-crotononitrile, 3,3’-iminodipropionitrile.

5. Metals and compounds

Metal dan compounds diantaranya senyawa merkuri, germanium dioksida, senyawa timah organik, timbal.

Timbal sering disebut sebagai penyebab tuli. Dikabarkan, timbal digunakan untuk meningkatkan rasa anggur, yang membuat kecanduan sang komposer besar ‘Ludwig van Beethoven’ dan berefek menurunkan fungsi pendengarannya.

6. Zat kimia lain

Beberapa zat kimia lainnya berasal dari pestisida (organophosphates, paraquat, pyrethroids, hexachlorobenzene), polychlorinated biphenyls, dll.

Cara Mengidentifikasi Paparan Ototoksikan (Ototoxicants)

Mengidentifikasi paparan ototoksikan di tempat kerja bisa menjadi tantangan, karena gejala kerusakan pendengaran sering berkembang perlahan dan mungkin tidak langsung terlihat. Namun, beberapa langkah bisa diambil untuk mengidentifikasinya:

1. Penilaian Risiko Kimia

Bagian 11 dari SDS Toxicological Information

Lakukan penilaian risiko terhadap bahan kimia yang digunakan di tempat kerja. Cara efektif untuk memastikan apakah bahan kimia yang digunakan di area kerja termasuk kategori ototoksikan adalah dengan memeriksa Safety Data Sheet (SDS) dari bahan kimia tersebut. Pada section 11 (Toxicological Information), jika terdapat istilah atau kata “Neurotoxicant, cochleotoxicants, atau vestibulotoxicants” maka bahan kimia tersebut berpotensi ototoksik.

Di SDS Anda dapat melihat Section 2 Hazard Identification dan Section 8 Exposure controls. Dalam hal ini, pekerja harus menerapkan langkah-langkah pengendalian yang sesuai, termasuk pemilihan Alat Pelindung Diri (APD) untuk pernapasan dan pendengaran yang tepat.

Contoh Notasi OTO di ACGIH 2024
Styrene dengan Notasi “OTO” di ACGIH 2024

Anda juga dapat mengidentifikasi apakah bahan kimia termasuk dalam kategori ototoksikan melalui panduan dari ACGIH (American Conference of Governmental Industrial Hygienists) yang mencantumkan bahan kimia dengan akronim “OTO” sebagai ototoksikan.

Baca juga:
ACGIH TLV & BEI 2024 Free Download! (Updated)

2. Pemantauan Kesehatan Pendengaran

Pekerja yang terpapar bahan kimia berbahaya dan kebisingan harus menjalani pemantauan pendengaran secara rutin. Audiogram (tes pendengaran) dapat membantu mendeteksi perubahan awal dalam kemampuan mendengar. Penjelasan terkait kapan waktu dan seperti apa audiogram akan penulis jelaskan pada pembahaan selanjutnya tentang HCP (Hearing Conservation Program) ya!

3. Konsultasi dengan Ahli

Konsultasikan dengan ahli kesehatan kerja, dokter perusahaan, industrial hygiene, atau toksikolog untuk mengidentifikasi risiko spesifik di lingkungan kerja Anda.

Area dan Pekerja yang Rentan Terpapar Ototoksikan

Beberapa contoh kelompok pekerja yang rentan terpapar ototoksikan meliputi:

  • Operator Field: Yang bekerja langsung di lapangan dan sering berinteraksi dengan peralatan dan bahan kimia.
  • Laboran: Yang terlibat dalam analisis dan pengujian bahan kimia di laboratorium.
  • RAM (Reliability, Availability, and Maintainability): Yang bertanggung jawab atas pemeliharaan peralatan di area kerja, di mana potensi paparan bahan kimia cukup tinggi.

Penanganan dan Pencegahan Ototoxicant

Ilustrasi Edukasi Bahaya Ototoxicant di Tempat Kerja

Mengurangi risiko paparan ototoksikan dan kebisingan adalah langkah penting dalam melindungi kesehatan pendengaran pekerja. Beberapa strategi yang bisa diimplementasikan meliputi:

  • Pengendalian Teknik: Kurangi kebisingan di tempat kerja dengan menggunakan peredam suara, pelindung akustik, dan meminimalkan penggunaan alat yang menghasilkan suara bising jika memungkinkan.
  • Substitusi Bahan Kimia: Gantilah bahan kimia ototoksik dengan alternatif yang lebih aman.
  • Administrasi. Membatasi waktu pajanan kebisingan hingga menginisiasi Hearing Conservation Program. Beberapa negara Eropa dan Australia merekomendasikan bahwa ketika agen ototoksik hadir di tempat kerja, tingkat paparan kebisingan harian harus dikurangi menjadi 80 dBA, bukan 85 dBA seperti NAB yang ada di Indonesia pada umumnya.
  • Pelatihan dan Edukasi: Edukasi pekerja mengenai bahaya ototoksikan dan pentingnya perlindungan pendengaran. Pastikan mereka memahami risiko dan cara melindungi diri.
  • Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD): Pekerja yang terpapar bahan kimia dan kebisingan harus menggunakan APD yang sesuai, seperti pelindung telinga (earplug/earmuff) dan respirator untuk mencegah inhalasi bahan kimia berbahaya, serta hand gloves yang sesuai dengan persyaratan 29 CFR 1910.138 untuk melindungi kulit dari paparan ototoxicants.

Kesadaran akan bahaya ototoxicants dan kebisingan di tempat kerja adalah langkah penting untuk mencegah kehilangan pendengaran. Dengan mengidentifikasi risiko, memantau kesehatan pendengaran, dan menerapkan langkah-langkah pencegahan yang tepat, kita dapat melindungi kesehatan pekerja dan memastikan lingkungan kerja yang selamat.

Pada akhirnya, kesehatan sistem pendengaran bukan hanya tanggung jawab individu, tetapi juga merupakan tanggung jawab bersama untuk menciptakan tempat kerja yang sehat dan produktif.

Referensi:

  • Behar A. Ototoxicity and Noise. Journal of Otorhinolaryngology, Hearing and Balance Medicine. 2018; 1(2):10. https://doi.org/10.3390/ohbm1020010
  • Canadian Centre for Occupational Health and Safety. 2023. https://www.ccohs.ca/oshanswers/hsprograms/occ_hygiene/occ_ototoxic_chemicals.html#section-4-hdr
  • CDC. 2018. Preventing Hearing Loss Caused by Chemical (Ototoxicity) and Noise Exposure. https://www.cdc.gov/niosh/docs/2018-124/pdfs/2018-124.pdf
  • Stevens MH, Jacobsen T, Crofts AK. Lead and the deafness of Ludwig van Beethoven. Laryngoscope. 2013 Nov;123(11):2854-8. doi: 10.1002/lary.24120. Epub 2013 May 17. PMID: 23686526.
Sharing is Caring

Andi Balladho

Andi Balladho Aspat Colle is certified Occupational Safety & Health (OSH) + professional Search Engine Optimization (SEO) in Indonesia. As OSH Enthusiast, he loves to learn and share articles about OSH.

Mungkin Anda juga menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *